Keluarga kenabian sedang menunggu kelahiran seorang bayi kala itu. Di rumah Imam Musa al-Kadhim, Najma istri Imam, tengah menghitung hari menanti kelahiran bayi yang di kandungnya.
Bayi ini sangat istimewa, karena semenjak kelahiran putra pertamanya, 25 tahun yang lalu, baru kali inilah Najma dianugerahi kemuliaan untuk mengandung putra dari Imam Kadhim kembali. Ya! 25 tahun sebelumnya,juga di bulan Dzul’Qoidah, pada tahun 148 hijriah, Najma melahirkan seorang putra yang kemudian memjadi Imam penerus ayahandanya dan diberi gelar Ar-Ridho.
Akhirnya, hari itupun tiba. Pada 1 Dzul’qoidah 173 H, lahirlah seorang putri cantik dari rahim Najma. Mata indah putri cantik itu mengerjap-ngerjap sangat menggemaskan, menunjukkan bahwa bahwa pemiliknya kelak akan menjadi seseorang yang sangat cerdas.
Imam Musa al-Kadhim menamakan putrinya FATHIMAH, atas dasar kecintaan dan kedekatan khusus beliau dengan neneknya yang suci Sayyidah Fathimah Az-Zahra sa. Kesucian, keshalihan, dan keimanan Fathimah lah yang menjadikan beliau kemudian dijuluki Maksumah (yang suci). Hal ini dikarenakan, seperti ayahnya, beliau selalu menjauhkan diri dari dosa dan keburukan.
Bila seseorang memilih untuk menamai putrinya dengan nama Fathimah, maka mereka akan memberikan penghormatan khusus kepada putrinya demi nama yang disandangnya. Begitu pula yang dilakukan Imam Musa al-Kadhim. Beliau tak pernah mengecewakan putrinya. Sebagaimana Rasulullah saw mencintai dan menghormati putrinya, begitu pula yang dilakukan Imam Musa al-Kadim terhadap Sayyidah Fathimah Maksumah.
Sayyidah Fathimah Maksumah tak pernah melewatkan kesempatan untuk belajar dari ayah, kakak maupun ibundanya. Seluruh masa kecil dan masa mudanya dihabiskan untuk Islam.
Masa itu, setiap Jum’at, muslimin dari seluruh penjuru biasa datang ke Madinah untuk bertanya persoalan-persoalan agama mereka. Setelah mendapat jawaban dari Imam, mereka akan kembali ke rumah masing-masing. Tapi suatu hari, pada hari Jum’at, orang-orang ini tidak bisa menemui Imam Kadhim karena beliau sedang pergi. Imam Ali ar-Ridha pun tak ada di tempat. Tampak raut kecewa di wajah orang-orang yang telah jauh-jauh datang tersebut.
Melihatnya, Sayyidah Fahimah Maksumah kemudian mengambil surat-surat berisi pertanyaan yang mereka bawa dan menjawabnya satu persatu. Orang-orang mukmin inipun bergembira. Merasa puas dan lega, mereka lalu meninggalkan Madinah.
Dalam perjalanan pulang, mereka bertemu dengan Imam Musa al-Kadhim yang hendak kembali. Setelah orang-orang ini menceritakan kunjungan mereka, Imam kemudian membaca jawaban yang ditulis Sayyidah Fathimah Maksumah atas surat-surat mereka. Setelah membaca, tampak rona kebahagiaan terpancar dari wajah mulia Imam Musa al-Kadhim. Beliau memuji Sayyidah Fathimah Maksumah sa dan berkata,
“SEMOGA AYAHNYA JADI TEBUSAN BAGINYA.”
Bayi ini sangat istimewa, karena semenjak kelahiran putra pertamanya, 25 tahun yang lalu, baru kali inilah Najma dianugerahi kemuliaan untuk mengandung putra dari Imam Kadhim kembali. Ya! 25 tahun sebelumnya,juga di bulan Dzul’Qoidah, pada tahun 148 hijriah, Najma melahirkan seorang putra yang kemudian memjadi Imam penerus ayahandanya dan diberi gelar Ar-Ridho.
Akhirnya, hari itupun tiba. Pada 1 Dzul’qoidah 173 H, lahirlah seorang putri cantik dari rahim Najma. Mata indah putri cantik itu mengerjap-ngerjap sangat menggemaskan, menunjukkan bahwa bahwa pemiliknya kelak akan menjadi seseorang yang sangat cerdas.
Imam Musa al-Kadhim menamakan putrinya FATHIMAH, atas dasar kecintaan dan kedekatan khusus beliau dengan neneknya yang suci Sayyidah Fathimah Az-Zahra sa. Kesucian, keshalihan, dan keimanan Fathimah lah yang menjadikan beliau kemudian dijuluki Maksumah (yang suci). Hal ini dikarenakan, seperti ayahnya, beliau selalu menjauhkan diri dari dosa dan keburukan.
Bila seseorang memilih untuk menamai putrinya dengan nama Fathimah, maka mereka akan memberikan penghormatan khusus kepada putrinya demi nama yang disandangnya. Begitu pula yang dilakukan Imam Musa al-Kadhim. Beliau tak pernah mengecewakan putrinya. Sebagaimana Rasulullah saw mencintai dan menghormati putrinya, begitu pula yang dilakukan Imam Musa al-Kadim terhadap Sayyidah Fathimah Maksumah.
Sayyidah Fathimah Maksumah tak pernah melewatkan kesempatan untuk belajar dari ayah, kakak maupun ibundanya. Seluruh masa kecil dan masa mudanya dihabiskan untuk Islam.
Masa itu, setiap Jum’at, muslimin dari seluruh penjuru biasa datang ke Madinah untuk bertanya persoalan-persoalan agama mereka. Setelah mendapat jawaban dari Imam, mereka akan kembali ke rumah masing-masing. Tapi suatu hari, pada hari Jum’at, orang-orang ini tidak bisa menemui Imam Kadhim karena beliau sedang pergi. Imam Ali ar-Ridha pun tak ada di tempat. Tampak raut kecewa di wajah orang-orang yang telah jauh-jauh datang tersebut.
Melihatnya, Sayyidah Fahimah Maksumah kemudian mengambil surat-surat berisi pertanyaan yang mereka bawa dan menjawabnya satu persatu. Orang-orang mukmin inipun bergembira. Merasa puas dan lega, mereka lalu meninggalkan Madinah.
Dalam perjalanan pulang, mereka bertemu dengan Imam Musa al-Kadhim yang hendak kembali. Setelah orang-orang ini menceritakan kunjungan mereka, Imam kemudian membaca jawaban yang ditulis Sayyidah Fathimah Maksumah atas surat-surat mereka. Setelah membaca, tampak rona kebahagiaan terpancar dari wajah mulia Imam Musa al-Kadhim. Beliau memuji Sayyidah Fathimah Maksumah sa dan berkata,
“SEMOGA AYAHNYA JADI TEBUSAN BAGINYA.”