Saat perang Shiffin berlangsung antara kubu Imam Ali as dan Muawiyah, para musuh berusaha menguasai air. Mereka memblokade daerah air dan melarang pasukan Imam Ali as. Darinya.
Tiba-tiba seorang ksatria muda berperawakan gagah, menggunakan kain penutup wajah memasuki medan laga dengan menunggang kuda. Baik musuh maupun pihak muslimin tidak mengetahui siapa kesatria misterius tersebut. Dengan lihainya sang ksatria misterius memporak-porandakan pasukan musuh yang memblokade air.
Melihat itu, Muawiyah memerintahkan komandan terbaiknya bernama Abu Sya’sya untuk melawan sang ksatria. Namun panglima Muawiyah yang berasal dari Syiria tersebut berkata dengan sombong,
“ Orang-orang menyetarakan keberanianku dengan keberanian 1000 penunggang kuda, dan kau ingin aku bertarung melawan bocah ini?” ujarnya pongah.
Abu Sya’sa menolak maju lebih dulu dan memerintahkan putranya yang paling muda untuk bertarung. Tak berapa lama, putra itu kalah dan terbunuh di tangan ksatria gagah perkasa tersebut.
Abu Sya’sa kemudian memerintahkan putranya yang lain, satu persatu putra Abu Sya’sa berjatuhan tak mampu menandingi kelihaian sang ksatria.
Melihat semua anaknya mati, Abu Sya’sa menjadi sangat marah. Ia kemudian maju memasuki medan laga. Diucapkannya syair-syair kesombongan menuntut pem balasan dendam atas kematian anak-anaknya.
Di luar dugaan pihak musuh, Pendekar andalan Muawiyah itu berhasil dikalahkan dengan mudah.
Muslimin di pihak Imam Ali bin Abi Thalib bergembira atas kemenangan yang berhasil diraih. Saat itulah, Imam Ali bin Abi Thalib memanggilnya, beliau sendiri yang membuka kain penutup wajah remaja tersebut, dan tahulah semua orang bahwa ksatria muda itu tidak lain adalah Abl Fadhl Abbas.
Tiba-tiba seorang ksatria muda berperawakan gagah, menggunakan kain penutup wajah memasuki medan laga dengan menunggang kuda. Baik musuh maupun pihak muslimin tidak mengetahui siapa kesatria misterius tersebut. Dengan lihainya sang ksatria misterius memporak-porandakan pasukan musuh yang memblokade air.
Melihat itu, Muawiyah memerintahkan komandan terbaiknya bernama Abu Sya’sya untuk melawan sang ksatria. Namun panglima Muawiyah yang berasal dari Syiria tersebut berkata dengan sombong,
“ Orang-orang menyetarakan keberanianku dengan keberanian 1000 penunggang kuda, dan kau ingin aku bertarung melawan bocah ini?” ujarnya pongah.
Abu Sya’sa menolak maju lebih dulu dan memerintahkan putranya yang paling muda untuk bertarung. Tak berapa lama, putra itu kalah dan terbunuh di tangan ksatria gagah perkasa tersebut.
Abu Sya’sa kemudian memerintahkan putranya yang lain, satu persatu putra Abu Sya’sa berjatuhan tak mampu menandingi kelihaian sang ksatria.
Melihat semua anaknya mati, Abu Sya’sa menjadi sangat marah. Ia kemudian maju memasuki medan laga. Diucapkannya syair-syair kesombongan menuntut pem balasan dendam atas kematian anak-anaknya.
Di luar dugaan pihak musuh, Pendekar andalan Muawiyah itu berhasil dikalahkan dengan mudah.
Muslimin di pihak Imam Ali bin Abi Thalib bergembira atas kemenangan yang berhasil diraih. Saat itulah, Imam Ali bin Abi Thalib memanggilnya, beliau sendiri yang membuka kain penutup wajah remaja tersebut, dan tahulah semua orang bahwa ksatria muda itu tidak lain adalah Abl Fadhl Abbas.