Monday, March 30, 2015

Bunga untuk Imam Hasan al-Mujtaba

Suatu hari, seorang budak wanita mempersembahkan setangkai bunga yang indah dan harum untuk tuannya, Imam Hasan al-Mujtaba  (as). Imam menerima bunga itu dengan senang hati, bahkan sangat senang sehingga beliau pada saat itu juga membebaskan si budak wanita. Anas bin Malik yang kala itu berada di sana menjadi heran,

    “Junjunganku, engkau membebaskannya hanya karena hal yang sepele itu? Seseungguhnya aku tidak melihat hubungan antara bunga itu dan kebebasannya.”

Imam menjawab,

“Allah berfirman dalam al-Qur’an, Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). (4:86). Ia telah mengungkapkan penghormatannya dan hal itu harus dibalas dengan cara yang jauh lebih baik, maka aku membebaskannya. (Ahsanul-Muqaal).

Wednesday, March 4, 2015

Kilau Kemuliaan Sang Putri

Yatsrib telah menjadi kota Nabi. Disana muslimin hidup dengan damai dibawah kepemimpinan manusia terarif sepanjang masa. Dibawah kepemimpinan Rasulullah saww, kaum Yahudi dan Nasrani pun boleh tinggal dan hidup berdampingan dengan kaum muslimin Yastrib, yang kini berubah nama menjadi Madinah.

Kala itu, seorang kaya beragama Yahudi merencanakan pernikahan anak perempuannya. Rumah dan halaman megah yang ia miliki, dihias meriah. Cahaya  penerangan berkerlap-kerlip di setiap sudut rumah dan halaman, menambah maraknya suasana. Persiapan pernikahan terencana dengan matang. Tinggal mengirim atau mendatangi tetamu yang hendak diundang.

Si Yahudi juga hendak mengundang putri Nabi Muhammad saw. Ia lalu mendatangi Nabi dan menyampaikan undangannya agar Sayyidah Fatimah mau menghadiri upacara pernikahan anaknya.  Nabi mengatakan kepada Yahudi tersebut untuk meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib, karena ia adalah suami Sayyidah Fatimah.

Yahudi pun menghadap Imam Ali as, namun Imam Ali pun tak begitu saja mengiyakan undangan itu. Beliau  meminta Yahudi tersebut menyampaikan langsung undangannya kepada Sayyidah Fatimah sa. Maka  si Yahudi tersebut meminta izin menemui Sayyidah Fatimah untuk  menyampaikan undangannya.

Orang Yahudi itu kemudian menyampaikan undangannya dan Sayyidah Fatimah menjawab bahwa beliau hanya akan pergi apabila Imam Ali mengizinkannya. Yahudi itupun menjelaskan bahwa sebelumnya ia telah terlebih dahulu meminta izin kepada Nabi dan Imam Ali sebelum ia menemui Sayyidah Fatimah atas saran dari mereka berdua.

Mendengar hal ini, Sayyidah Fatimah kemudian mendatangi Rasulullah saww,

“Wahai ayah, seorang Yahudi memintaku untuk menghadiri pernikahan anaknya.
Bagaimanakah saranmu mengenai hal ini?” tanya Sayyidah Fatimah.

Dengan tersenyum Rasulullah saw menjawab,

“Putriku, engkau bebas untuk menerima ataupun menolaknya,”

“Kehadiranku disana nanti hanya akan dianggap sebagai penghinaan bagi para wanitanya, karena mereka pasti akan memakai pakaian-pakaian mewah lengkap dengan semua perhiasannya. Sedangkan aku hanya memiliki pakaian usang dan penuh tambalan dimana-mana,” ungkap Sayyidah Fatimah.

Beliau bukanlah malu akan pakaian yang dimilikinya, namun keadaan penuh kemewahan yang selalu mewarnai upacara pernikahan kaum kaya, bagi Sayyidah Fatimah bukanlah hal yang menarik untuk didatangi.

Nabi pun menjawab,

“Hadirilah dengan pakaian yang engkau punya sesuai kehendak Allah,”

Maka Sayyidah Fatimah kemudian memutuskan untuk menerimanya, karena hak tetangga adalah untuk memenuhi undangan yang telah mereka berikan.

Tibalah hari pernikahan. Sayyidah Fatimah telah bersiap dengan pakaian yang beliau miliki. Meski pakaian beliau bukan pakaian baru, namun beliau tetaplah sangat cantik.
Ketika bersiap meninggalkan kamar, tiba-tiba turun bidadari bidadari dari surga.
Kamar itu menjadi sangat terang benderang. Bidadari itu membawa sebuah pakaian dari surga, lengkap dengan perhiasannya. Pakaian itu khusus diturunkan Allah untuk Sayyidah Fatimah. Pakaian surga itu begitu indah dan berkilauan. Apalagi setelah dikenakan oleh sang putri, Sayyidah Fatimah. Keindahannya bahkan tak terlukiskan. Bidadari-bidadari yang mengelilingi Sayyidah Fatimah membantu beliau mematut diri.
Sayyidah Fatimah kemudian menuju ke tempat diadakannya upacara pernikahan.
Bidadari-bidadari utusan Allah mengiringi beliau dalam perjalanan. Demi menjaga kehormatannya, sebagian berjalan disebelah kanan Sayyidah Fatimah, sebagian di sebelah kiri, sebagian di depan dan sebagian di belakang sehingga sepanjang perjalanan orang-orang tak bisa melihat langsung kepada Sayyidah Fatimah. Mereka hanya melihat beberapa wanita bercahaya dan cahaya paling terang berada di  ditengah-tengahnya. Iring-iringan itu sedang menuju ke upacara pernikahan putri Yahudi kaya disana.

Tibalah iring-iringan bidadari ini di tempat upacara. Memasuki ruangan yang dikhususkan untuk wanita, keluarga pengantin dan para tamu sontak menjadi gaduh. Semua terpana dan terpesona kepada iring-iringan cahaya putri Nabi tersebut. Sewaktu para bidadari kemudian menepi untuk memberi jalan kepada Sayyidah Fatimah, seluruh ruangan tiba-tiba menjadi sangat terang. Aroma harum memancar dari Sayyidah Fatimah bahkan hingga ke pojok-pojok ruang. Belum lagi kecantikan tak terperi yang dimiliki putri Rasul dalam balutan pakaian surganya sungguh mempesonakan semua yang melihatnya.

Seluruh hadirin kehilangan kata-kata. Mereka serasa tak percaya bahwa yang mereka lihat ini adalah Fatimah binti Muhammad. Putri dari seseorang yang sangat bersahaja dan mengaku dirinya Nabi utusan Allah. Muhammad yang hidup dalam kesederhanaan yang sangat. Beberapa wanita yang hadir bahkan jatuh pingsan tak kuasa menahan keterpanaan akan kecantikan Sayyidah Fatimah dalam pakaian surganya, termasuk sang pengantin.

Selang beberapa saat, semua wanita yang tadinya pingsan itu kemudian sadar kembali, kecuali sang pengantin. Semua berusaha menyadarkan sang pengantin, namun gagal. Bahkan pengantin itu kemudian meninggal dunia. Suasana menjadi riuh. Tangisan dari pihak keluarga mulai terdengar disana-sini. Ada yang menjerit-jerit tak kuasa menahan kesedihan. Suasana pernikahan yang semula ceria berubah menjadi suasana duka penuh tangisan karena kematian pengantin wanita. Sayyidah Fatimah juga bersedih dengan apa yang terjadi. Namun kemudian, dengan kewibawaannya, beliau meminta semua hadirin untuk kembali tenang. Beliau menjanjikan bahwa atas izin Allah SwT Sang Pemilik Kehidupan, pengantin wanita akan hidup kembali.

Sayyidah Fatimah kemudian mendirikan shalat dua rekaat. Dengan bersimpuh, beliau berdoa ke hadirat Allah SwT,

“Wahai Tuhanku, aku adalah putri Nabimu, dan Engkau telah menamaiku Batul as-Shiddiqa, maka demi kedudukan Nabimu, penuhilah janji yang telah aku berikan kepada orang-orang ini. Wahai sebenar-benar Tuhanku, aku adalah putri Nabimu, maka jagalah kehormatanku., Orang orang ini akan menyalahkanku atas kematian pengantin wanita karena ketidak tahuan mereka, dan upacara pernikahan ini akan berubah menjadi upacara kematian ”

Doa Sayyidah Fatimah langsung terijabah. Sang pengantin wanita tersadar kembali. Sayyidah Fatimah saat itu masih dalam posisinya berdoa. Begitu membuka mata, pengantin wanita itu tiba-tiba mengucapkan sholawat atas Nabi Muhammad dan keluarganya, seolah sudah ada yang mengajarinya untuk hal itu. Kemudian ia berdiri menghadap kearah Sayyidah Fatimah dan mengucapkan,

“Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, dan engkau adalah putri dari Nabi kami tercinta. Aku memohon kepadamu, sucikanlah aku dan ajarkan agama kepadaku,” mohon pengantin wanita itu kepada Sayyidah Fatimah. Ia kini memeluk Islam dengan sepenuh hati.

Para tetamu yang hadir disitu, terpana melihat apa yang terjadi. Di depan mata mereka sendiri, mereka menyaksikan mukjizat Sayyidah  Fatimah sa. Mereka semua kemudian juga turut memeluk Islam mengikuti sang pengantin wanita. Bahkan beberapa laki-laki yang tadi ikut masuk saat mendengar kabar kematian pengantin wanita, juga ikut memeluk Islam.  Sejarah meriwayatkan, sekitar 500 orang Yahudi, laki-laki, perempuan termasuk anak-anak, masuk Islam pada hari itu.