Wednesday, September 5, 2018

Keranjang Roti Jaka



Namanya Jaka Sobri. Teman sekelasku. Kami sama-sama duduk di bangku kelas lima SD Al-Hikmah. Kata ibu, Jaka dalam bahasa Jawa, berarti pemuda, sedang Sobri, berasal dari Bahasa Arab yang berarti kesabaran.

Mungkin karena itu, Jaka Sobri menjadi penyabar, sekaligus pemalu. Penyabar karena tak pernah membalas ejekan siapapun yang mengatakan rambutnya seperti ijuk, pemalu karena ia tak pernah berani membaur bersama kawan-kawan lain, meski sudah dua bulan ia pindah ke sekolah ini. Kasihan juga melihatnya sendirian saat waktu istirahat tiba, padahal yang lain bermain berkelompok-kelompok.


Lagi-lagi kulihat Jaka melamun di dalam kelas. Kadzim  yang baru masuk  menawarkan roti yang baru dibelinya dari kantin. Tapi, lho, kok Jaka malah salah tingkah?

“ Ti-tidak Dzim, buat kamu saja, aku tidak lapar.” Jaka melengos pelan, tampak bulir-bulir keringat dingin mengalir di pelipisnya.

Aku  jadi tertarik memperhatikan mereka. Jaka aneh, batinku. Masak, ditawari roti kok ketakutan? Sebegitu pemalunyakah Jaka? Lagi-lagi aku mengerenyitkan dahi heran.
Kadzim  menghampiriku.

“ Psst! Ja’far!” bisiknya, “ Menurutmu, ada apa sebenarnya dengan Jaka?”

Aku menoleh ke arah  Kadzim, sejurus kemudian, berganti memperhatikan Jaka.

“ Dia bukan pemalu, dia itu minder, ketakutan berada diantara kita, tepatnya.” lanjut Kadzim masih berbisik kepadaku.

Lagi-lagi aku memperhatikan Kadhim kemudian berganti memperhatikan Jaka.

“Hmmm...”gumamku.

Kadzim jadi gemas melihat ekspresiku yang sok serius.

“Hmmmmm!!”

Hi-hi-hi, Kadhim ikut ber hemm ria menirukanku  sambil menghempaskan dirinya di kursi. Aku hanya tersenyum.

Sepulang sekolah, aku menghampiri Jaka di dekat gerbang.
“Jaka!” panggilku.

Jaka tak membalas.

“Pulang bareng yuk?  Rumahmu ke arah Jl. Pandean kan?"

Kemarin aku  melihat Jaka lewat jalan itu, jalan yang sama menuju rumahku. Karena itu, aku menduga rumah Jaka dekat dengan rumahku. Tapi, mengapa lagi-lagi Jaka malah salah tingkah? Ia seperti ketakutan.

“Jaka? ” tanyaku lagi. Kali ini aku mengangkat alis agar terkesan sungguh-sungguh.

“A-aku mau pulang dulu.” Jaka menjawabku dengan gugup dan melangkah tergesa.

Tentu saja aku jadi bingung, kenapa sih, si Jaka ini? Aku kan bukan monster? batinku.

Eits, tapi, apa itu? Sesuatu terjatuh dari keranjang yang dibawa Jaka. Aku memungutnya. Ini kan, roti seperti yang di beli Kadzim tadi? Roti kesukaan anak-anak di sekolah ini? Oww,aku mengerti sekarang. Pikiranku  mengait-ngaitkan roti di tanganku dengan sifat minder Jaka. Rasanya aku jadi seperti detektif cilik. Aku menyimpulkan Jaka malu setiap hari menitipkan roti di kantin sekolah.

Malamnya aku tak kunjung bisa tidur, ingin rasanya menolong Jaka. Namaku Ja’far, kata ayah, aku diberi nama Ja’far Shodiq karena ayah ingin aku seperti Imam Ja’far Shodiq yang cerdas dan selalu bersama kebenaran dan kebaikan. Aku harus menolong Jaka. Tapi bagaimana?

Aku duduk di samping tempat tidur, Jaka akan minder bila aku langsung mengatakan bahwa aku sudah tahu siapa dia sebenarnya. Jangan-jangan malah nanti ia tak mau ke sekolah. Aku harus menemukan cara yang halus untuk menyadarkannya. Seperti Imam Hasan as dan Imam Husain as yang secara tidak langsung mengingatkan kakek tua tentang cara berwudhunya yang salah. Dengan cara itu, Imam telah membuat kakek tua menyadari kesalahannya tanpa tersinggung. Kususun rencana malam itu.

Paginya, Jaka lagi-lagi hanya melamun di kelas saat jam istirahat. aku yang sebelumnya sudah meminta bantuan Kadzim memulai aksi kami.

“Tapi aku tak mau! aku kan malu!” Kadzim menundukkan kepala.

“Iya sih, mungkin malu menjaga toko minyak wangi, tapi kan Abahmu cuma ingin kamu belajar menghargai hasil kerja orang lain, supaya kamu bijaksana nantinya. Lagipula, cuma sementara kan?” kataku menepuk-nepuk bahu Kadzim yang menelungkupkan kepala di kursi.

“Kamu mana tau, Ja’far? Orang tuamu kaya raya.” Kadzim menatapku cemberut.

Aku hanya tersenyum.

“Memang apa bedanya? Belajar menghargai orang lain tidak mengenal kaya miskin.” kataku. Apalagi sekaligus membantu orang tua.“ Iya kan, Jaka? “ aku meminta bantuan Jaka.

Jaka tampak kaget aku bertanya padanya. Aku tahu, kalau sesungguhnya Jaka memperhatikan perdebatan kami dari tadi.

“ Eh, iya.” kata Jaka gugup.

“ Kenapa kok iya? Kadzim bertanya.

Jaka yang bingung, tampak berpikir sebentar.

“Emm...karena orang tua sudah bekerja keras untuk kita, jadi kita harus membantu mereka. Kasihan orang tua kita.” Jawabnya pelan.

Aku dan Kadzim terdiam, kami sama-sama memandang Jaka.

“Benar sih, sebagai anak, seharusnya kita bangga saat Allah memberi kesempatan menolong orang tua kita.”  Kadzim menimpali ucapan Jaka, sambil memelaskan suaranya. Wajahnya makin dibuat prihatin.

Sebenarnya aku ingin tertawa melihat akting Kadzim, tapi kutahan. Aku dan Kadzim kini berpandangan, berharap rencana ini berhasil, seiring bel tanda masuk berbunyi.

Seninnya, aku berangkat lebih pagi. Ingin mempersiapkan diri sebagai Komandan Upacara Bendera . Saat sedang berlatih sendiri di lapangan, aku melihat Jaka datang dengan menenteng keranjang, aku yakin itu keranjang roti yang akan dititipkan di kantin.Aku  hanya tersenyum pada Jaka, tak ingin membuatnya minder dengan bertanya isi keranjangnya. Namun kali ini, tak seperti kemarin-kemarin, Jaka justru menghampiriku. Ia menyapaku.

“Ja’far, aku akan menitipkan roti ini ke kantin dulu, setelah itu aku ingin melihatmu berlatih, boleh?” Jaka bertanya sambil  menunjuk keranjang di tangannnya.

Aku mengangguk, agak terkesima melihat sikap Jaka yang tak gugup seperti kemarin. Meski masih agak malu-malu tapi Jaka berani menunjukkan bahwa ia membantu orang tuanya menitipkan roti di kantin. Mungkinkah seharian kemarin ia memikirkan percakapan kami di hari Sabtu? Ah, aku senang kalau Jaka bisa berubah. Kadzim pasti juga senang kalau rencana kami berhasil. Keren deh, akting Kadzim waktu itu, seperti artis Sinetron.