Qasim Sang Syahid Muda Karbala

QASIM SANG SYAHID MUDA KARBALA

Terik matahari Karbala terasa membakar ubun-ubun siapa saja di siang hari 10 Muharram 61 Hijriah kala itu. Qasim melihat bibinya Sayyidah Zainab dan sepupunya Sukainah berusaha menenangkan anak-anak kecil yang kehausan bagai tercekik, dipandanginya mereka dengan hati pilu menahan kesedihan. 

Sejenak kemudian pandangan putra Imam Hasan al Mujtaba yang baru menginjak usia 13 tahun itu beralih ke sungai Furat yang terlihat di kejauhan dari tenda para wanita. Hati Qasim bergejolak tak tenang, ia faham betul tentang situasi yang tengah di alaminya. Agama kakeknya yang telah diperjuangkan berdarah-darah dalam Khandaq,Badr dan Uhud kini tengah berada di ujung tanduk dan terancam musnah karena ulah para munafik  bani Umayyah yang haus akan kekuasaan.

 Kini pamannya Imam Husain alaihis salam tengah berjuang untuk menyelamatkan Islam dan menyelamatkan ummat dari kehancuran.

Tiga hari sudah mereka tidak mendapatkan air. Qasim memandangi Ummi Farwa ibundanya, beliau  terlihat mengkhawatirkan keadaannya yang kehausan. Digenggammya tangan sang bunda seolah berusaha meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Qasim menyaksikan  sang bunda begitu terharu dengan keadaannya.

Qasim  teringat percakapannya semalam dengan beliau.  Semalam  ia menyampaikan niatnya untuk berjuang sepenuhnya hingga menggapai syahadah demi membela pamannya dan demi tegaknya kembali risalah kakeknya. Dengan jelas Qasim masih mengingat percakapan dengan ibundanya ,

 “ Ibu,esok Pamanku al Abbas, Ali al Akbar dan aku akan membela pamanku al Husain, apabila nanti aku terbunuh, aku mohon padamu jangan bersedih karenaku .”pamitnya meminta izin.

Qasim melihat mata ibundanya terkasih berkaca-kaca melihatnya,dengan sayang beliau membelai lembut wajahnya dan berkata,

“Putraku sayang, walaupun engkau sangatlah aku cintai, janganlah engkau khawatir aku akan bersedih dengan hal itu. Tidak akan ada yang bisa membuatku lebih bangga daripada menyaksikan putraku tersayang gugur untuk Islam.”

Mengingat hal itu hati Qasim menjadi tenang,dibulatkannya tekad menemui pamannya. Inilah saatnya ia maju membela paman tercintanya dan membela Islam. Para sahabat telah gugur, tinggal keluarga bani Hasyim yang tersisa untuk menghadapi musuh di padang tandus tersebut.

Debu-debu karbala tertiup angin panas padang pasir menerpa wajah bercahaya Qasim bin al Hasan, dengan langkah mantap ia menemui pamannya al-Husain . Qasim memohon kepada pamannya agar mengizinkannya maju membela beliau. Paman yang pengasih itu memandanginya dengan pandangan sayang,  beliau berkata kepadanya,

"Wahai Qasim,bagaimana aku bisa memberikan izin padamu sementara aku tahu pasti bahwa yang akan kau hadapi adalah kematian. Ayahmu, saudaraku al Hasan telah mempercayakanmu pada pemeliharaanku di saat-saat menjelang kesyahidannya. Hatiku bergetar tiap kali berfikir kau harus maju untuk berperang. " tolak pamannya dengan lembut.

Jawaban Imam Husain ini membuatnya gundah.  Dua kali sudah al-Husain menolak permohonannya. Qasim berdiri dengan berlinang air mata tak tahu harus berkata apa.

Saat itulah Sayyidah Zainab datang kepada Imam untuk memohon izin agar Aun dan Muhammad putra-putra beliau sa. di izinkan berperang membela pamannya. Dan Imam Husain akhirnya mengizinkan Aun dan Muhammad.

Demi menyaksikan hal itu Qasim setengah berlari kembali ke tenda ibunya dengan berlinang air mata,hatinya yang rindu syahadah kecewa karena  ia belum bisa maju berperang. Tak bisa ia menyembunyikan kegelisahannya dihadapan sang bunda,ia berkata dengan menahan kecewa bahwa Aun dan Muhammad boleh maju berperang setelah dimohonkan oleh ibu mereka Sayyidah Zainab,namun siapakah yang akan memohonkan izin untuknya?

“jika aku tidak syahid hari ini,hidup tidak akan lagi berarti bagiku.apakah aku ditakdirkan untuk jadi tawanan dan digiring dari satu penjara ke penjara lain?” ucapnya bersedih

Melihat kondisi Qasim yang begitu kecewa dan bersedih Ummu Farwa tak kuasa menahan air mata beliau. Ia  berfikir bagaimana caranya Qasim bisa mendapatkan izin untuk membela Imam dan pamannnya itu.

Bergegas Ummu Farwa beranjak menemui Imam untuk memohon izin. Saat  itulah teringat olehnya wasiat Imam Hasan  berupa surat untuk al Qasim yang beliau as titipkan pada Ummu Farwa sebelum meninggal. Waktu itu  Imam Hasan as berpesan,

“Akan datang suatu masa dimana kau akan melihat Qasim dalam kesulitan dan kekecewaan yang luar biasa. Dan jika masa itu datang berikanlah suratku ini padanya.”

Dengan antusias pahlawan muda Bani Hasyim ini pun membaca surat tersebut. Baris demi baris kata-kata dalam surat itu dibaca Qasim dengan seksama,

"Putraku Qasim!akan datang hari dimana saudaraku al Husain akan menghadapi   puluhan ribu pasukan musuh. Saat itu Islam harus diselamatkan melalui pengorbanan.Kau harus mewakili diriku saat itu."  Wasiat Al Hasan as dalam suratnya.

 Tampak senyum terkembang di bibir Qasim, menghilangkan raut gundah yang sebelumnya ada di sana. Segera Qasim berpamitan pada ibunya dan  berlari menemui pamannya.

Dihadapan Imam Husain,Qasim menyerahkan surat dari ayahnya Imam Hasan. Mata Qasim memancarkan sinar penuh dengan kebahagiaan seorang satria sewaktu surat itu dibaca oleh pamannya Imam Husain as.

Qasim memandangi pamannya yang berlinang airmata menatapnya usai membaca surat,tampak paman terkasih itu tak lagi ingin menghalanginya maju ke medan laga, dengan berat Imam mengizinkannya dan berkata ,

"Wahai putraku sayang,keinginan ayahmu adalah sebuah perintah bagiku,kini aku tak punya alasan lagi melarangmu. Jika aku memang ditakdirkan menanggung kepedihan atas kesyahidanmu maka aku tunduk pada kehendak Tuhan.” Ucap Imam mengizinkan al Qasim.

Qasim begitu bersemangat ketika pamannya sendiri yang mengikatkan surban milik ayahandanya Imam Hasan as ke kepalanya,dan mematutkan pakaian perang yang dikenakannya,hati Qasim terenyuh menyaksikan Imam Husain mempersiapkan dirinya dengan air mata berlinang.

Setelah Imam melihat semua telah siap bagi Qasim, Pamannya memeluknya erat. Qasim menciumi tangan berkah al Husain berkali-kali. Paman yang penuh kasih ini melihat Qasim begitu mirip ayahnya al Hasan, Air mata  kedua insan inipun mengalir deras dalam pelukan. Qasim tahu bahwa ini adalah pelukan perpisahan dan pelukan pamannya yang terakhir yang akan ia rasakan di dunia.

Tubuh Qasim belumlah terlalu besar, usianya baru menginjak 13 tahun.  Pamannya tercinta pula yang membawakan kuda perang dan membantunya menaiki kudanya. Beliau tak izinkan al Abbas karena ingin memberikan penghormatan terakhir bagi Qasim.

“Ini adalah kesempatan terakhirku sebelum berpisah,biarkan aku melakukannya untuknya.” Ucap Imam pada al Abbas kemudian sambil menengok ke arah Qasim Imam juga berkata,

“Qasim,tak lama lagi aku akan bergabung denganmu.”

Pahlawan muda bani Hasyim ini pun dengan semangat kuat berkata kepada Imam Husain,

“Wahai pamanku, aku mohon padamu janganlah bersedih. Aku tidak takut akan kematian. Kematian untuk Islam akan lebih manis dari madu.”

Segera Qasim melaju dengan kudanya menuju barisan musuh,dilihatnya gelombang ribuan pasukan musuh ini bagaikan serigala lapar ingin mencabiknya. Namun, Putra Imam Hasan ini adalah seorang pejuang sejati yang mewarisi darah Ali sang Haidar. Ia tak gentar sama sekali. Dengan lantang Qasim bersyair penuh keberanian menunjukkan jati dirinya.   

 Satu persatu musuh berjatuhan di tangannya. Kepiawaiannya berperang membuat Umar bin Sa’ad sadar bahwa pemuda bani Hasyim ini tak bisa dikalahkan dengan duel satu lawan satu. Segera ia perintahkan pasukan mengepung dari segala arah. Hazrat Qasim belajar pedang dari Abl Fadl Abbas Pembawa panji Al Husain. Ia adalah seorang pemuda yang pemberani dan ketampanannya bagaikan bulan purnama. Ia berperang dengan penuh semangat dan membunuh banyak musuh. Tapi apalah daya,Qasim adalah seorang pemuda belia yang telah tercekik kehausan selama 3 hari dan diserang dari segala arah oleh prajurit berkuda dan bersenjata lengkap. Seorang musuh menghantam pedang ke kepala mulia putra Imam Hasan tersebut hingga ia terjatuh dan berteriak keras...

Pamaaan...!! Salam sejahtera untukmu....

Al Husain yang memperhatikan jalannya perjuangan Qasim mendengar teriakan keponakannya hingga beliaupun segera berlari dan memacu kudanya secepat kilat...ia sibakkan beberapa pasukan berkuda yang menghadang beliau mencapai al Qasim...

Perawi berkata:Debu debu yang berterbangan reda sudah,Tampak Al Husain berdiri di samping Qasim yang tubuhnya tercerai berai akibat terinjak injak pasukan berkuda yang tadi menghadangnya.

Diriwayatkan beliau membuka sorbannya dan membentangkannya untuk kemudian mengumpulkan bagian bagian tubuh al Qasim bagaikan seseorang yang mengumpulkan bunga bunga di sebuah taman....

Dng hati hancur beliau berkata,

"Sungguh berat rasanya bagi pamanmu ini,kala mendengar panggilanmu tapi tak menjawabnya. Atau menjawab tapi suaranya tak lagi dapat memberikan apa apa. Demi Allah,hari ini telah dipenuhi oleh orang orang zalim dan sedikit orang yang mau menolong kita.”

http://www.youtube.com/watch?v=UX_7kymIBzQ