Tuesday, April 1, 2014

Adzan Sang Kulit Hitam Abisinia

Kini  ia makin dekat dengan kota itu. Udara di siang yang panas menyengat membuatnya berkali-kali menyeka peluh di dahi dan menjadikan tangannya pelindung pandangan dari silaunya matahari.

Dilemparkan pandangannya ke arah hijaunya pohon kurma yang terletak di belakang deretan rumah-rumah sederhana Madinah, kembali ditariknya napas dalam-dalam saat menatap kota Nabi Muhammad tersebut. Setiap hirupan napas, rasanya kembali ia rasakan udara segar yang mengingatkannya akan aroma keharuman junjungannya, Nabi Muhammad saww.

Walaupun Nabi Muhammad saww telah wafat beberapa bulan yang lalu, namun keharuman beliau saw  jelas tercium  dari  masjid beliau, masjid dimana ia pernah dititahkan melantunkan azan selama bertahun-tahun.

Ia masuki kota itu dalam diam, sejenak ia kibaskan debu-debu yang menempel di bajunya, pandangannya berkeliling memperhatikan hiruk pikuknya suasana. Orang-orang Madinah sibuk dengan kehidupan mereka sehari-hari hingga seolah tak menyadari kehadirannya.

Dilangkahkannya kaki menuju perempatan kota dimana beberapa rumah bani Hasyim berdiri, kemudian ia menuju sebuah gang sempit tempat dulu ia biasa menyambut Nabi saww setiap beliau hendak menuju masjid, diperhatikannya sebuah rumah yang darinya terpancar aroma kenabian, dulu Nabi selalu mengetuk pintu dan mengucapkan salam kepada penghuninya setiap sebelum ke masjid. Itu adalah rumah Fatimah sa dan Ali bin Abi Thalib as, putri dan menantu Nabi Muhammad saww.

Walau sebelumnya ia pernah memutuskan untuk tidak akan kembali ke Madinah setelah wafatnya Nabi, namun kerinduannya bertemu keluarga Nabi saww membuatnya kini berada kembali di kota itu dan berdiri di depan pintu itu. Perlahan dihampiri dan diketuknya pelan pintu sederhana dihadapannya.

“Salam sejahtera bagi kalian wahai Ahlulbayt as, wahai keluarga Nabi yang diberkati,” ucapnya.

Suaranya sangat dikenali oleh para pemilik rumah. Seketika pintu terbuka dan muncullah dua cucu kesayangan Nabi, Imam Hasan dan Imam Husain as menghambur ke arahnya. Wajah mereka begitu ceria dan antusias,


“Ini Bilal! Ini Bilal! Ia telah kembali!”

Bilal, seorang Abisinia berkulit hitam, yang dahulunya mendapat kehormatan dari Nabi saww sebagai pelantun azan di masjid Nabawi, memeluk erat kedua putra kecil Ali tersebut. dengan sayang dibelainya dua cucu kesayangan Nabi itu, pandangan mata mereka seolah mengingatkannya pada masa lalu dimana ia selalu bisa mencium aroma keharuman Nabi melalui keduanya.

Beberapa saat berlalu, Bilal seperti diingatkan tentang Nyoya pemilik rumah, putri Nabi Muhammad saww yang telah dirampas hak warisnya. Dua putra kecil Ali as menggandeng tangan Bilal dan menggandengnya masuk halaman rumah kecil mereka.

Suasana tetap sama seperti dulu di rumah Ali bin Abi Thalib. Namun kini, didalam rumah, disebuah kamar yang kecil, putri Nabi yang berduka, Fatimah sa terbaring lemah. Beliau mendengar suara yang tak asing, dikenalinya betul suara muazzin ayahnya saat pertama tadi ia menyapa beliau dengan hormat sebelum memasuki halaman.

“Salam atasmu wahai Muazzin ayahku, Nabi Allah SWT,” ucapnya.

Suara itu terdengar sangat lemah. Bilal merasa khawatir, ia kemudian bertanya apakah Fatimah yang mulia sedang sakit, namun pertanyaan itu tidak mendapat jawaban.

Setelah hening sesaat, suara Sayyidah Fatimah dari dalam ruangan meminta Bilal untuk pergi ke masjid Nabi dan mengumandangkan azan sebagaimana ia biasa melantunkannya dimasa Nabi saww masih hidup.

“Wahai Bilal, sebelum aku pergi meninggalkan dunia yang fana ini, aku ingin kau melantunkan azan supaya aku bisa mengenang kembali masa-masa indah bersama Rasulullah Muhammad saww,” pinta Sayyidah Fatimah sa.

Bilal merasakan kesedihan yang begitu mendalam. Ia tahu sebelum meninggalkan Madinah, bahwa warisan Nabi telah dirampas dari putri junjungannya tersebut. Dirampas oleh penguasa baru yang juga telah merampas hak Imam Ali bin Abi Thalib dari kursi kepemimpinan ummat, tapi sungguh Bilal tak menyangka masalah ini sampai-sampai membuat Sayyidah Fatimah berada dalam kondisi demikian.

Bilal mematuhi perintah Junjungannya. Segera ia menuju Masjid Nabawi, dinaikinya atap Masjid dan dipandangnya seluruh kota Madinah yang kini terlihat berbeda dari sewaktu Nabi saww masih hidup.

Bilal memulai azan, suaranya lembutnya seolah menyentuh langit ketika ia melantunkan kalimat pertama. Saat ia kumandangkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar), orang-orang serempak menghentikan kegiatan mereka dan saling pandang.

“Apakah Bilal telah kembali,” terdengar suara-suara bergumam.

“Asyhadu anla ilaha illa Allah (Aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah),” lanjut Bilal.

Mendengar kalimat berikutnya ini, orang-orang serempak berbondong-bondong menuju masjid. Bilal melanjutkan kembali azannya,

“ Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah (Aku bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah)”

Air mata mengalir di pipi pendududk Madinah. Namun sewaktu Bilal hendak melanjutkan kembali adzannya, ia melihat dua cucu Nabi, al-Hasan dan al-Husain as berlari ke arahnya. Imam Hasan dan Imam Husain serempak berkata,

“Wahai Bilal, jangan teruskan bacaan adzanmu, Ibu kami begitu teringat akan Nabi  dan kini beliau jatuh pingsan.”

Bilal bergegas turun dan memeluk kedua cucu kesayangan Nabi itu dengan berlinang air mata.