Wednesday, December 25, 2013

YATIM KECIL KARBALA

Diluar rumah tempat kami menginap, kulihat seorang anak laki-laki duduk di lantai yang dingin, ia berjualan berbagai macam cindera mata khas untuk para peziarah yang lewat.

          

           Yang paling menyentuhku adalah, begitu rendah hati caranya duduk dan berjualan. Tak pernah sekalipun ia mendongakkan kepala dan menawar-nawarkan dagangan seperti biasanya penjual-penjual dagangan di pinggir jalan. Anak laki-laki kecil ini hanya tersenyum kepada setiap peziarah yang lewat, sambil merapikan cindera mata yang ia jual, ikat kepala, bros-bros kecil, dan bendera. Tak seperti senyum lain, senyumnya adalah senyum kegembiraan, senyum yang menunjukkan keimanan.

         

             Kepolosan dan ke rendah hatiannya itu, menyentuh hatiku. Kesederhanaan dan ketulusannya menarikku untuk duduk dan berbincang sebentar dengannya.

            Aku berjongkok di sampingnya dan berkata.

            “Assalamualaikum saudara kecilku.”

            Anak kecil itu mendongak, melihat ke arahku sambil tersenyum, seolah memang sedari tadi, ia tengah menunggu seseorang menyapa dan mengajaknya berbicara.

            “Wa alaikum salam wahai Peziarah Al-Husain, selamat datang, selamat datang!”

            Aku bertanya,

            “Siapa namamu?”

            “Ahmad.” jawabnya.

            “Berapa tahun, umurmu?” tanyaku lagi.

            “Aku 11 tahun, kak. Semoga Allah memberkahi Kakak umur panjang sehingga bisa terus datang ke Karbala.” jawabnya lagi.

            Ucapan terakhirnya yang berupa doa ini, membuat leherku seolah tercekat. Sambil menahan air mata haru, aku bertanya kembali padanya.

            “Kenapa kau duduk sendirian di lantai yang dingin ini?”

            “Kakak tahu? Ayah dan Ibuku syahid dalam sebuah peristiwa ledakan bom sewaktu mereka hendak pulang ke rumah selepas Sholat Jum’at. Dan sekarang, tinggal aku yang bisa menafkahi 4 saudara perempuanku dan seorang saudara laki-lakiku yang cacat karena senjata kimia.”

            Jawaban Ahmad terasa bagai belati yang menusuk jantungku. Tak bisa lagi kutahan air mata yang sedari tadi menggantung di pelupuk mata. Kepalaku tertunduk, rasanya aku malu pada diriku sendiri.

            Dengan tangan kecilnya yang dingin, Ahmad mengusap air mata di pipiku.

            “Jangan menangis kak, ini adalah kehormatan untukku. Jangan berpikir kami sendirian, kami sekarang adalah yatim-yatim Aba Abdillah Al-Hussain(as), dan aku adalah Sang Abbas di rumah. Adakah yang lebih mulia dari ini?”

            Kupeluk bocah ini erat-erat. Rasanya tak ingin kulepas.

            Saat aku bangkit, Ahmad mengulurkan sehelai kain hijau yang diambilnya dari barang dagangannya. Dengan tersenyum Ia berkata,

            “Kakak, ambillah ini sebagai hadiah dariku. Letakkan di atas sajadah tempat kakak sholat, dan berjanjilah untuk mengingatku.JANGAN LUPA, NAMAKU AHMAD DARI KARBALA’.”

            Dan senyum itu terus membekas di hatiku.

         Aku melangkah pergi, kusadari, ini adalah  pelajaran besar dari Allah, untukku.

(via Journey of Karbala)